SEPERTI DOA YANG TAK KUNJUNG SELESAI DIRAPALKAN
Ada hari-hari di mana matahari terasa lebih berat untuk terbit, seperti ia sendiri meragukan tujuannya. Begitu pula dengannya, seseorang yang kini berjalan di dunia yang terasa begitu luas, namun sekaligus begitu sempit. Langit pagi mengabur, tak lagi menyentuh sukacita seperti dulu. Setiap langkahnya adalah doa yang diam-diam bergetar di antara nafas yang putus-putus. Kehilangan itu bukanlah hal yang ia pelajari dari buku-buku, tetapi dari ruang kosong yang terus bergema dalam dirinya. Ada kerinduan yang ia peluk dengan erat, seolah-olah itu satu-satunya hal yang nyata di tengah segala yang memudar.
Dalam diamnya, ia mulai berbicara dengan dunia yang tak lagi menawarkan jawaban. Angin yang berhembus tidak lagi menghibur; ia hanya membawa pesan-pesan samar yang tak ia pahami. Orang-orang berlalu-lalang, menjalani hari mereka seperti biasa, namun baginya, setiap wajah adalah bayang-bayang dari seseorang yang telah memutuskan untuk pergi. Betapa ironisnya, pikirnya, bahwa separuh dunianya hilang justru ketika ia merasa paling hidup. Kini, ia berjalan sendirian, menyusuri jalan-jalan yang pernah mereka lewati bersama, mencari sisa-sisa percakapan yang mungkin masih tersisa di udara.
Doa-doanya menjadi jangkar di tengah lautan yang tak bertepi. Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat bahwa bertahan itu sendiri adalah sebuah bentuk keberanian. Dunia, dengan segala ketidakpastiannya, terus bergerak. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di ujung perjalanan ini, dan mungkin ia tidak peduli. Tapi ada sesuatu yang tetap membawanya melangkah, meski dengan tertatih-tatih. Sebuah harapan kecil, atau mungkin hanya kebiasaan. Tidak ada yang pasti. Hanya waktu yang bergulir, perlahan, seperti doa yang tak pernah selesai dirapalkan.