Notepad Malam Minggu

Udah malam minggu lagi. Met' weekend all !

!reff
Ku ingat pengamen cilik yang bergelatung di mulut pintu angkot tadi sore, bermodal suara tanpa alat musik dan alas kaki. Bajunya yang lusuh dengan kotoran lumpur jalanan tak beraspal. Sampai pada akhir sebuah lagu tak bernada, mungkin karena itu satu-satunya lagu yang dia hafalkan.

Ribut sekali 2 perempuan kuliahan di depanku ini ! Mereka memasuki angkot tepat ketika pengamen cilik itu keluar dengan sebuah koin uang lima ratusan. Bangga ?! siapa ? Bukan saja pengamen cilik itu yang berbangga mendapatkan recehan ketika pengamen lainnya dengan raut muka kesal tidak mendapatkan recehan sekalipun. Ataukah 2 orang perempuan di depanku ini yang berceloteh tentang kepuasan mereka memarahi seseorang.


Entah siapa seseorang itu. Jelas sekali perempuan yang berbuntut kuda sebelah kananku ini merasa puas, tapi masih jelas masih memendam rasa dendam di hatinya.

"Tunggu saja, wisuda nanti gua kasih racun dia !"

terdiam kemudian, tanpa peduli beberapa pasang telinga dan mata berpura-pura tidak memperhatikan percakapan mereka.

"Memangnya kuliah dibayar pake daun apa ?" lanjutnya masih dengan tatapan dingin.

Lawan bicaranya menjawab hanya dengan senyuman. Pikirnya bercanda.
Kutarik tangan kiriku yang sedari tadi menahan tas di depanku ini, berlagak melirik jam menunjukan pukul setengah tujuh, menjelang malam. Sekedar untuk membuang waktu. Supaya percakapan 2 perempuan di depanku ini tidak sampai masuk ke telinga.

Seperempat jam kemudian aku sudah berada di belakang tukang ojek. Menyusuri jalan mendekati rumah. Gila! dasar ojek, dengan gaya mirip pembalap profesional -seolah-olah jalan ini milik nenek buyutnya seenakknya saja menjalankan motor. Kudekap tas kotak warna hitam ini, aku tidak mau barang bekas elektronik berharga ini penyok gara-gara tukang ojek yang ngejar setoran malam minggu.

Motor bebek keluaran tahun lalu ini dipaksa dipacu habis-habisan mengakut 2 manusia yang salah satunya mumpunyai berat badan hampir mendekati 90 kilo! Bersama satu motor RG warna hijau muda dan motor bebek tahun 70-an di depanku, sementara 3 motor bebek di belakangku yang masing-masing bermuatan 2 manusia juga berhenti mendadak ketika sedan warna abu-abu metalik datang dari arah berlawanan datang secara tiba-tiba. Makian, teriakan dan klakson motor riuh rendah seketika hadir.

Sementara jantung ini rasanya hendak copot, untung saja usiaku masih tergolong belum tua, dan jantungku masih kuat bergelantung pada tempatnya. Sudahlah, kejadian itu terlupakan kemudian sesaat motor ojek tumpanganku berhenti di dekat lapangan bulu tangkis.

Rasanya mustahil menembak 3 lilin menyala dengan menggunakan 2 peluru. Dayungku terlalu kecil untuk dikayuhkan agar 2 atau 3 pulau terlampaui. Bahkan untuk bernafas pun aku harus hati-hati, agar setiap oksigen dapat menyebar -merata ke setiap rongga pembuluh darahku. Batukku masih meracau bersama kepulan asap rokok filter yang kusembunyikan diantara lipatan bajuku, agar istriku tak dapat mengira -kenapa gatal-gatal di tenggorokkan ini masih tetap bertahan.

Back

Komentar