Jangan pernah bilang kalau kamu memahami posisiku, karena bahkan aku sendiri terkadang tersesat dalam labirin pikiranku. Kamu mungkin melihat air mataku, tapi apakah kamu bisa merasakan badai yang menghancurkan setiap sudut hatiku? Kata-katamu yang penuh niat baik itu seperti lentera di siang bolong—terang, tapi tak berguna dalam kegelapan yang kuhadapi. Aku masih lebih memilih untuk diam dalam ruang duniaku, di mana sunyi adalah satu-satunya teman yang tak pernah mencoba mengubahku menjadi sesuatu yang bukan diriku.
Jangan pernah sekalipun bilang kalau kamu ada untuk menemaniku, karena kehadiranmu seringkali terasa seperti bayangan yang mengikuti tanpa benar-benar mengerti. Aku masih berjuang sendirian di sini, seperti akar yang mencoba menembus tanah yang keras, mencari nutrisi yang tak pernah datang. Bantuanmu, meski tulus, terasa seperti angin yang berusaha menerbangkan layang-layang yang talinya sudah putus. Aku tak butuh penyelamat, aku hanya butuh waktu untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Dan jangan pernah berpikir bahwa kesendirianku adalah tanda kelemahan. Diamku adalah benteng, tempat aku merenung, berjuang, dan tumbuh. Aku tidak mengharapkan bantuan siapapun, karena dalam kesunyian ini, aku menemukan kekuatan yang tak pernah kukira ada. Mungkin suatu hari nanti, aku akan membuka pintu ini, tapi untuk sekarang, biarlah aku menjadi penjaga malam bagi diriku sendiri. Karena hanya dengan cara inilah aku bisa menemukan arti sebenarnya dari bertahan.