Ada hal aneh tentang nasihat. Ia adalah cermin yang kita sodorkan kepada orang lain, berharap mereka melihat bayangan diri yang lebih baik. Namun, seringkali, yang terjadi justru sebaliknya. Bukan bayangan yang diperbaiki, melainkan cermin itu sendiri yang dihancurkan. Panjang lebar kita bicara, berharap kata-kata kita menjadi tangga yang mengangkat seseorang dari jurang, tapi mereka justru memilih duduk di sana, memandangi tangan kita dengan sinis. Bertahun-tahun berlalu, dan nasihat menjadi gema tanpa makna, sekadar repetisi yang tak pernah mengakar. Barangkali bukan karena mereka tak mendengar, tetapi karena hati mereka menutup diri, seperti jendela di tengah badai.
Momen itu datang lagi, ketika aku memberanikan diri mengutarakan saran—bukan dengan harapan mereka mengikutinya, tetapi lebih sebagai upaya menunjukkan bahwa aku peduli. Tapi reaksi mereka, entah tawa yang meremehkan saat bahagia, atau tuduhan yang memojokkan saat sedih, menyentakku. Seperti hujan yang jatuh sia-sia di tanah tandus, kata-kataku tak pernah diterima sebagai hujan. Mereka menolak dengan berbagai cara, tetapi di balik penolakan itu, ada sesuatu yang lebih dalam: ketakutan untuk berubah. Sebab, mengikuti nasihat berarti mengakui bahwa ada yang salah, dan itu adalah kenyataan yang sulit ditelan oleh kebanyakan orang.
Namun, aku mulai berpikir: apa yang sebenarnya terjadi? Apakah aku salah karena terus mencoba? Atau mereka yang salah karena terus menolak? Tetapi di tengah perenungan itu, aku sadar bahwa hidup tidak pernah sesederhana benar atau salah. Ada luka-luka di masa lalu mereka, ada dinding-dinding yang mereka bangun untuk melindungi diri, yang akhirnya malah menjadi penjara mereka sendiri. Dan ketika aku mengetuk dinding itu dengan nasihat, mereka tak melihatnya sebagai upaya pembebasan, melainkan ancaman. Mereka bukan meninggalkan kita, tetapi menutup diri terhadap dunia, termasuk terhadap kebenaran yang kita bawa.
Barangkali, ini bukan tentang mereka saja, tetapi juga tentang kita yang memberi saran. Ada harapan yang terlampau tinggi, ada ego yang ingin diterima, yang membuat kita terluka ketika mereka tak mendengar. Kita lupa bahwa memberikan nasihat bukan tentang memastikan ia diterima, melainkan tentang menanam benih kebaikan, meski mungkin tak akan pernah kita lihat tumbuh. Sebab, setiap kata yang keluar dari hati, meski ditolak, tetap memiliki kekuatan untuk tinggal di sudut pikiran mereka. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tetapi suatu hari nanti mereka akan mengingatnya, saat dunia akhirnya memberi mereka alasan untuk mendengar.
Di akhir hari, aku memilih melepaskan keinginan untuk mengubah mereka. Bukan karena aku menyerah, tetapi karena aku memahami bahwa perjalanan setiap orang adalah milik mereka sendiri. Kita hanya bisa menjadi pendamping, bukan penentu arah. Dan jika mereka menutup diri, itu bukan akhir dari segalanya. Aku tetap akan mengetuk, meski perlahan, meski tanpa harapan. Sebab, bukan mereka yang benar-benar perlu berubah—tetapi aku, agar terus memberi tanpa syarat, tanpa pamrih, dan tanpa kecewa. Sebab, di sanalah cinta dan pengertian sejati menemukan maknanya: dalam menerima bahwa tidak semua pintu harus terbuka sekarang.