ENTAH ITU ESOK ATAU LUSA

 Rembulan selalu memiliki cara untuk berpamitan yang tak biasa. Di senja hari, ia tak berkata-kata, hanya meninggalkan semburat lembayung yang menggurat cakrawala dengan warna tembaga. Ada keagungan dalam perpisahan itu, seakan ia ingin memastikan bahwa setiap mata yang memandang akan mengingatnya meski ia harus pergi. Namun, perpisahan itu tidak pernah penuh dengan kesedihan, karena ia selalu menjanjikan kembali—entah itu esok atau lusa. Dan di balik janji itu, ada renungan mendalam: mengapa kepergian sering kali lebih terasa ketika kita tahu ada kemungkinan untuk tidak kembali?

Namun, janji rembulan tidak selalu dapat ditepati. Kadang-kadang ia absen di esok malam, terhalang oleh hujan atau awan yang bersahutan di angkasa. Dalam absennya, ada ruang hampa yang mengundang kerinduan, tetapi juga mengajarkan kesabaran. Barangkali, rembulan ingin memberi kita ruang untuk belajar menikmati kegelapan, untuk menyadari bahwa tidak semua yang indah akan hadir sepanjang waktu. Hujan dan awan yang menggantikan rembulan bukan sekadar gangguan, melainkan sapaan lembut bagi hati yang sedang rapuh, mengingatkan bahwa tidak apa-apa untuk kehilangan, selama kita tahu bahwa kehilangan itu sementara.

Di saat-saat seperti ini, temaram menjadi penghubung yang jujur antara siang dan malam. Ia tidak menawarkan kepastian, hanya momen singkat di mana segalanya tampak menggantung—seperti hati yang bingung antara menerima kepergian atau berharap akan kedatangan kembali. Temaram adalah metafora dari transisi, dari perubahan yang tak bisa kita hentikan. Kita semua, pada satu titik, menjadi temaram: melayang di antara keputusan, di antara perasaan yang tak sepenuhnya terang, tetapi juga tak sepenuhnya gelap. Dalam jeda itu, hidup terasa lebih nyata, karena di sanalah pertanyaan-pertanyaan kita bertumbuh.

Rembulan, meski ia selalu tampak jauh, sebenarnya adalah bagian dari diri kita sendiri. Ia menjadi cermin bagi perasaan kita yang sering kali tak tentu arah. Saat ia bersinar penuh, kita merasa utuh. Saat ia bersembunyi, kita merasa kosong. Tapi seiring waktu, kita belajar bahwa rembulan bukanlah tentang kehadirannya yang utuh atau absennya yang mencengangkan. Ia adalah tentang perjalanan; tentang bagaimana ia tetap ada meski kadang tak terlihat. Begitu pula dengan hidup—kita bukan sekadar ada saat kita terlihat, melainkan juga saat kita memilih untuk diam dan menghilang sejenak.

Ketika malam turun dan rembulan tak datang, ada pesan yang ingin ia sampaikan: bahwa tidak semua hal butuh alasan. Kadang hujan turun tanpa peringatan, kadang awan menutupi tanpa permisi. Dan kita, seperti langit yang gelisah, hanya bisa menerima bahwa ada hari-hari di mana segalanya terasa abu-abu. Namun, rembulan tetap ada, bahkan di balik selimut awan. Begitulah hidup mengajarkan maknanya: bahwa meski kita tak selalu melihat keindahan, keindahan itu tetap ada, menunggu waktu yang tepat untuk menyapa kita kembali.

Share: