BENTANGAN JURANG KEKOSONGAN

Malam-malamnya tidak pernah benar-benar gelap. Lampu kecil di sudut kamar menyala redup, seolah mencoba menghibur, tapi hanya membuat bayangan di dinding tampak semakin panjang dan menakutkan. Ia berbicara kepada dirinya sendiri dalam bisikan yang bahkan tidak ingin didengarnya. Dalam pikirannya, semua kesedihan itu berputar seperti gulungan ombak, menghantam tanpa ampun. Ada kemarahan yang tak bisa ia lemparkan ke dunia, ada tangisan yang tak pernah mencapai bibir. Ia seperti kapal tanpa jangkar, terapung di tengah badai, tanpa tahu di mana pantai berada. Setiap detik yang berlalu hanya mempertegas betapa sempitnya dunia yang ia tinggali, dunia yang ia bangun dari keheningan dan kepura-puraan.
Dan pada suatu pagi, ketika embun masih menggantung di ujung dedaunan, ia duduk di sudut rumah dengan secangkir kopi yang sudah dingin. Di sana, ia mencoba menemukan ruang di antara keretakan dirinya, sebuah celah kecil untuk bernafas. Tapi apa yang ia temukan hanyalah kekosongan yang membentang, seperti jurang tanpa dasar. Dalam kesunyian itu, ia hanya mampu memeluk dirinya sendiri, bukan dengan kasih, tetapi dengan rasa lelah yang tak terkatakan. Ia tahu, dunia tidak berhenti berputar untuk kesedihannya. Dan dengan itu, ia kembali menyelam ke dalam pikirannya, ke tempat di mana segala sesuatu tetap menjadi rahasia, bahkan bagi dirinya sendiri.