Kata-kata itu, meski datang dari rasa sakit, juga membawa sebuah refleksi tentang pengorbanan. Kadang, kita merasa seolah-olah kita adalah penopang dunia orang lain, selalu ada, selalu siap untuk membantu, menyelesaikan masalah, memberi solusi. Namun, ketika masalah datang bertubi-tubi, dan kita mencari mereka yang seharusnya ada untuk kita, kita justru mendapati ketidakpedulian. Orang-orang yang kita harapkan untuk bersama kita dalam perjuangan justru memilih untuk “cuci tangan” — menyalahkan keadaan, menyalahkan kita, atau bahkan lebih buruk lagi, mengabaikan kita. Mereka yang memilih untuk pergi, meninggalkan kita dengan beban yang semakin berat.
Apa yang sebenarnya mereka cari? Kenapa kita, yang sudah berjuang begitu keras, malah dianggap pengecut ketika memilih untuk melepaskan diri dari situasi yang tidak lagi memberi makna?