Salah "PLOT" ?!?!

Sore itu langit Puncak Pass masih cerah, meskipun tanda-tanda langit hendak mencurahkan hujan sudah tampak jelas. Di kaki bukit orang-orang kebun sudah menelusuri jalanan pulang menuju Kamping Biru. Resleting jacket kunaikan sehingga terasa lebih hangat. Aku baru saja dari Kamping Biru, mengambil 2 ekor ayam sebagai bahan masakan istriku di rumah menjelang lebaran menjelang lebaran tahun ini.

Saat itu lebaran tahun 2001 hari minggu kalau tidak salah, karena hari itu aku masih ingat ada keperluan ke Kampung Biru untuk mengambil ayam dari Kang Budi. Ayam yang sudah dipesan 2 minggu sebelum lebaran itu aku putuskan untuk sekalian disembelih sebelum dibawa pulang. Rumah Kang Budi letaknya paling tengah di area Kampung Biru tersebut. Jalanan menuju Kampung Biru agak curam sekitar kurang dari 1 kilo dari rumah dinasku menuju arah utara. Kalau ditarik garis lurus, tidak begitu jauh cuma karena areal yang perumahan ini letaknya di tengah-tengah perkembunan the yang sangat luas jadi perjalanan ke sana memakan waktu 30 menit untuk berjalan kaki. Dan harus memutar menelusuri jalan mobil. Sampai di sana, kebetulan Kang Budi terlihat sedang memotong kayu bakar dengan kampaknya. Badannya tidak begitu besar, tingginya sekitar 168 cm berbadan kekar dan berkulit agak terang dibandingkan dengan kebanyakkan penduduk di Kampung Biru. Aku suruh Wawan anak ibu warung tempat aku sering singgah dari patroli di perkembunan the seluas 800 hektar ini, untuk ikut membantu memegang kaki ayam yang hendak disembelih itu. Acara “pembantaian” dilaksanakan di belakang rumah Kang Budi. Ada kejadian yang sempat menarik perhatianku, ayam kedua yang sudah disembelih dan jelas sekali aku lihat urat besar yang keluar mengucurkan darah segar pada leher ayam itu. Sesaat sesudah disembelih, ayam yang seharusnya sudah terkapar lemas itu tiba-tiba saja meloncat dan berlari menuju lapangan rumput. Akhinya acara ditutup dengan mengejar ayam jago yang benar-benar “jagoan”. Sampai di sini aku tidak begitu ambil pusing dengan kejadian ini.

Sampai di rumah, benar saja istriku sedang sibuk menyiapkan bumbu masakan untuk ayam-ayam yang sudah aku bawa ini. Si ayam jagoan tadi akhirnya terkapar lemas juga, begitu pula dengan orang-orang yang ikut berpartisipasi mengejar ayam jagoan ini ikut lemas. Apalagi mereka sedang menjalankan puasa. Belum sempat kubuka sepatu “jungle” dinasku anak lelakiku sudah menyambut dengan senyum manisnya didepan pintu.

“Ayah….” Ucapnya kecil sambil menenteng mainan kesukaannya.
“ehh ada abang…” kujawab dengan panggilan “abang” nama panggilan kesayanganku.

Kugendong anakku sambil kurapihkan sepatuku dibelakang pintu dapur. Aku beranjak ke ruangan tengah dimana ada perapian yang menunggu kunyalakan. Setelah kuturunkan anakku agak jauh dari tempat perapian itu. Aku hendak mengambil beberapa kayu bakar di samping rumah. Maksudku aku akan membuat sedikit api di perapian untuk menghangatkan ruangan. Di sana tidak ada AC, lagian aman ada AC untuk rumah dinas security perkebunan. Listrik untuk area perkembunan ini disuplay oleh generator yang diletakan agak jauh dari rumah dinas. Suasana hari itu sudah agak gelap, binatang malam sudah ribut terdengar. Istriku menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, dan aku bermain-main dengan anakku sambil menunggu beduk magrib tiba.

“Bu, sisakan beberapa sayap dan paha ayam. Jangan semua dimasak dulu. Ucapku dari ruang tengah yang tidak jauh dari dapur. Ayah coba bakar di depan perapian ini,”

Anakku merengek entah ingin apa, tiba-tiba saja dia menangis.

“Abang kenapa ? “ aku menggendongnya dan berjalan ke arah dapur, lapar kali bu..”

Istriku masih sibuk dengan masakannya di dapur.

“Ya sebentar lagi, tunggu saja di sana jangan ke sini…” jawab istriku sambil bergegas menuju kami.

Saat itu anakku masih merengek meminta sesuatu, aku tidak mengerti. Aku coba mengajak bermain di karpet dan memainkan beberapa mainannya. Akhirnya setelah beberapa menit anakku mulai diam. Aku ingat dengan niatku ingin membakar daging ayam di depan perapian.

Jelas saat itu pulu 17:15 WIB, aku berjalan menghampiri istriku.

“Tinggal nasi ama jeroan ayam, sisanya sudah beres semua, yah..” ujar istriku.

Kurasakan migrain –ku kambuh dan kepalaku terasa pusing sekali.

“Bu, kok pusing yach ?” ucapku kepada Istriku.

“ya susah langsung aja buka sekarang, daripada nantinya sakit. Kalau memang sudah tidak kuat lagi,” istriku menyarankan aku untuk membatalkan puasaku. Tidak ah, tinggal sehari besok aku berpuasa, masa harus batal. Sayang sekali kalau harus bolong meskipun satu hari. Setelah meyakinkan untuk terus menunggu beduk magrib, aku hendak mengambil botol kecap dan saus yang letaknya di dalam lemari dapur. Dan tiba-tiba saja…

di sini semuanya berawal…

Aku mendengar seperti banyak orang sedang bernyanyi, ya banyak sekali seperti sebuah koor besar di sebuah gedung pertunjukkan. Hanya saja mataku kenapa gelap ? hitam dan tidak ada satupun cahaya. Semua pemandangan dan pendengaran itu berakhir ketika aku tersadar kerahku sedang ditarik-tarik oleh istriku. Ya Tuhan !! Astagfirullah !! posisiku tertelungkup di pinggir dipan di samping kompor yang sedang menyala panas sekali, dan tanganku ya Tuhan. Tanganku masuk dipenggorangan, padahal saat itu istriku sedang memasak ayam satu ketel penuh. Dari pegelangan tangan kiriku masuk ke dalam minyak panas bersama daging ayam. Sesaat tidak kupercaya akan keadaan saat itu. Beberapa detik berlalu entah kenapa tangan kiriku tidak terasa sakit, dan ketika kutarik tanganku anehnya tidak tertarik ke atas melainkan ke arah bawah. Dan hasilnya penggorengan dan kompor yang sedang menyala panas itu tumpah ruah. Istriku menjerit-jerit di ruangan tengah sementara anakku diam terpaku dengan kejadian itu. Sebagian rambutku menyala tersambar api dari kompor yang tumpah itu. Dan tidak menunggu beberapa lama lagi, api mulai menyebar menjelajahi dapur mulai dari bawah sampai atas bahkan sampai pada langit-langit dapur !

Ketika asap sudah hampir memenuhi sebagian besar ruangan pada rumah, aku berlari secepatnya menyambar ember dan bergegas ke kamari mandi. Kemudian aku membasahi beberapa keset yang terbuat dari kain perca hendak menutupi kompor yang menjadi sumber api.

“Panggil Pak Jaya..!!” teriakku kepada istriku yang sedang menangis histeris di teras belakang.
“Abang masih di dalam !! Abang !! Abang !!!,” istriku setengah ingin pingsan membalas berteriak.!

Ya Tuhan, Asap itu sudah membumbung setengah tinggi ruangan sudah terpenuhi asap hitam dan tebal. Anakku masih di dalam ! Tanpa berpikir panjang aku berlari masuk ke dalam rumah, dan kulihat anakku dengan wajah terbelalak tanpa bersuara melotot pada api yang semakin berkobar. Aku tak sadar memegang anakku dengan sebelah tangah dan setengah melemparkannya ke pangkuan istriku yang menyambutnya diluar.

Kemudian beberapa orang tetangga datang menghampiri. Mereka mulai membantuku dengan mencoba mematikan aliran listrik. Sebagian membawa karung basah untuk memadamkan api. Setengah jam kemudian api sudah padam, Syukurlah hanya isi dapur yang hancur dilalap si jago merah, sisanya ruang tengah, ruang tamu dan ruang tidur masih bisa diselamatkan. Untung hanya dapur yang terbakar, dan istri dan anakku juga selamat.

Usai api padam, orang-orang yang menolongku mulai menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Aku sendiri memperhatikan telapak tangan kiriku, yang aku sendiri tidak percaya tidak terasa perih atau pun sakit. Yang kulihat hanya warna putih saja pada punggung telapak tangan kiriku ini. Aku pikir itu hayang cat dinding yang suka membuat noda seperti terkena tepung putih pada telapak tanganku. Tapi ternyata tidak. Tanganku mengalami lukar bakar yang cukup serius, warna putih yang aku lihat pada awalnya adalah kulit luar telapak tanganku yang sudah terkelupas. Dan beberapa luka yang mengembung akibat terkena minyak panas sudah pecah. Mungkin karena aku membawa ember berisi air untuk memadamkan api tadi. Pikirku simple tanpa memikirkan kemungkinan hal lainnya. Dari sebatas pergelangan tanganku menuju ujung jari semuanya terkena minyak panas. Bagaimana tidak, jelas sekali telapak ini masuk di antara daging ayam yang sedang digoreng. Dan menurut istriku padahal sebentar lagi ayam goreng itu sudah matang, dan yakin sekali kalau minyak goreng dalam penggorengan itu saat itu sedang panas-panasnya. Mungkin karena pergelangan tanganku yang terkena aku jadi tidak merasakan sakit pada ujung-ujung jariku. Di belakang ibu jari kiriku, satu luka sudah pecah barusan, mengeluarkan cairan bening yang membuat aku sendiri jijik. Dan setelah beberapa jam kemudian tanganku mulai mati rasa total apalagi jari-jariku. Terlihat membesar dan menggembung berisi cairan.

Aku sadar ketika seseorang mengoleskan minyak yang baunya menyengat di lubung hidungku. Aku melihat di sekeliling banyak orang-orang mengeruminiku, termasuk istriku dan anakku yang sekarang terlihat menangis. Aku sendiri tidak percaya, semur aku aku belum pernah aku mengalami pingsan. Dan hari ini aku pingsan untuk kedua kalinya. Setelah aku mencoba untuk duduk seseorang menyodorkan air putih untukku diminum. Aku masih tidak percaya, aku mulai tersenyum dan memandang disekeliling. Semua berwajah serius sekali, ada pak Jaya (tetangga yang rumahnya paling dekat dengan rumah dinasku) ada si Wawan adan Kang Budi, dua orang rekan kerjaku dan beberapa lagi aku tidak begitu mengenal namanya. Hanya wajahnya sudah tidak familiar lagi di areal perkebunan the ini.

Usiaku 26 tahun, aku “Special” Security di perkebunan teh ini. Boleh dibilang aku merangkap sebagai “spy”. Tenagaku diperkebunan ini diperlukan ketika kasus penyerobotan tanah mulai mencuat. Beberapa meter tanah perkebunan diserobot oleh orang tidak dikenal beberpa hari ini. Jelas saja ini membuat pemilik perkembunan ini gusar. Aku “sisisipkan” sebagai anggota keamanan di perkebunan ini. Dengan tugas khusus selain layaknya anggota keamanan lainnya, aku mempunyai tugas untuk menyelidiki siapa-siapa saja dari orang dalam yang terlibat langsung atau pun tidak langsung dengan kasus penyerobotan tanah perkebunan. Aku sedikit tertawa ketika mengetahui jumlah keamanan yang “menjaga” perkebunan seluas 800 hektar ini. Termasuk telaga warna dan restoran rindu alam, yang masih sengketa dengan pengadilan tentang hak milik tanah di atas bangunan restoran tersebut.

Hanya karena kajadian kebakaran tersebut nyaliku mulai muncul dan menyadarkanku. Kalau tugas yang selama ini aku emban adalah cukup berbahaya. Apalagi disini istri dan anak ikut tinggal di area ini. Semenjak kejadian itu anak lelakiku mengalami trauma yang sangat menyakitkanku. Siapa saja yang menyalakan api meski hanya sebesar api dari batang korek ataupun dari pemantik api. Anakku sangat ketakutan dan menangis menjerit-jerit,” Takutt… ayah…. Abang takutt…”

Aku bersalah, ini sangat menyakitkan sekali. Anak sekecil itu harus berhadapan dengan sesuatu yang cukup membuat kaget mentalnya. Dan aku sebagai ayahnya, orang yang seharusnya menjadi pelindung dia, orang yang seharusnya menjadi tumpuan dia, menjadi penyebab trauma yang aku yakin akan memakan waktu untuk menghilangkannya. Atau bahkan lebih buruk lagi.

Kutinggalkan Puncak Pass dengan peristwa itu kutengelamkan dalam-dalam di dasar ingatanku. Telapak tanganku baru kemudian sembuh total dalam waktu satu bulan, meniggalkan bekas yang tidak mungkin hilang. Dan lagi, penderitaanku tidak berakhir sampai di sana. Mungkin karena ekonomi kami mulai menurun, dan banyaknya godaaan dari banyak sumber.

And finally she`s dump me, and took away my sons from my lifes. There`s no phone calls, no reasons of why ?, and no letters, she said. “Don’t try to find me, im okay. And he (my sons) is okay too !” and then “im not going to tell you where we are, just forget about me, forget about our sons, just leave you life by your own..**click** “ just like that ! what the fuck is going on here !!

Hari itu aku merasa ketidak-adilan yang amat sangat, dan kepedihan. Sehingg aku sendiri merasa takut untuk menangis. Apakah pantas atau kah tidak ? haruskan bersedih ? dendam ? senang ? marah ? ingin rasanya berteriak sekeras mungkin, kemudia merobek langit dan mencurahkan banjir amarah dan kubiarkan membludak meratakan apa yang terlewati. Hanya ada kata : KENAPA ? ataukah, kwaciaaannn dech gwe ! Awalnya tidak ada yang mau percaya, aku tidak peduli. Mereka mengatakan bahwa aku yang bajingan pembohong yang paling tidak punya otak yang pernah mereka kenal selama hidup mereka. Hehehe who cares ? Aku masih bisa hidup tanpa harus ada yang peduli dengan apa yang terjadi dengan hidupku. Toh meskipun percaya juga tidak akan ada perubahan yang berarti. Semua hanya ikut merasakan kasihan. Ya cuman merasakan kasihan.

Dan akhirnya sekarang apa ? Aku masih bisa bertahan hidup dan menata kehidupanku dari semula. Meskipun terakhir kali aku melihat anak lelaki setahun kemudian merasa takut melihat aku. Aku masih bisa berdiri. Dan meski aku tahu kalau anak lelakiku yang dulu sangat lengket denganku, kini merasa asing ketika kusapa. Apalagi ketika istriku meminta surat penyataan cerai dariku setelah dia menghilang selama ini dan sekarang kulihat dia sudah berbadan dua (5 bulan) padahal masih tersangkut dengan status perkawinan denganku. Aku masih bisa bertahan. Aku masih bisa merasakan indahnya hidup, indahnya dunia. Semoga dia berbahagia dan semoga anakku mendapatkan kasih sayang dan cinta yang tulus dari ayah barunya. Tidak semua mengharapkan happy ending pada akhir ceritanya. Terkadang ada yang mengarapkan untuk tidak mengakhiri dengan happy ending pada akhir ceritanya. Hanya untuk mendapatkan keunikan untuk tidak disamakan dengan “pasaran”

Komentar

Posting Komentar

Hatur nuhun...