DUNIA TIDAK MEMBERI RUANG UNTUK KELUHAN PANJANG
Pada awalnya, ia hanya ingin didengar, sekadar mengakui bahwa beban yang dipanggulnya kadang terlalu berat. Namun ia sadar dunia tidak memberi ruang untuk keluhan panjang. Ia menunda kata-kata yang ingin keluar, menyimpannya sebagai catatan sunyi yang tak pernah dibacakan kepada siapa pun.
Waktu bergerak, dan di depan cermin besar yang sudah kusam dimakan usia, ia mulai berdialog dengan dirinya sendiri. Ia menatap pantulannya: seseorang yang menerima konsekuensi tanpa meminta belas kasihan, yang tetap memegang tanggung jawab meski tidak ada yang menyaksikan. Ia belajar menerima bahwa dilupakan bukan hukuman, hanya bagian dari perjalanan orang yang tak pernah meminta sorotan. Ia berdiri tegak bukan karena kuat, tetapi karena runtuh terasa jauh lebih memalukan di hadapan dirinya sendiri.
Namun pada akhirnya, saat ia kembali menatap cermin itu, ada kesadaran yang muncul seperti retakan halus: selama ini ia mengira sedang menguatkan diri, padahal ia sedang menguji kejujuran yang paling sulit—mengakui bahwa ia tidak benar-benar ingin melangkah, tetapi tetap memilih bertahan. Dan ironinya, di pantulan cermin yang tua itu, ia baru mengerti bahwa mungkin yang tersingkir bukan dirinya… melainkan harapan-harapan lama yang memang sudah waktunya ia lepaskan. Lelah harus bijaksana, tersingkir tak permisi. inspired by Sadrah