MEMILIH UNTUK TETAP MENDENGAR

Ada rasa yang tak bisa dibahasakan ketika memilih diam di tengah keinginan untuk bersuara. Diam itu tak sepenuhnya menyerah, justru ia menjadi ruang di mana hati belajar berdamai dengan realitas. Saat keluhan demi keluhan terurai di hadapanku, aku seperti mengupas lapisan kehidupan yang rapuh. Sementara perutku kosong, suara lain mengisi ruang di sekitarku—cerita yang menggambarkan lelah, luka, atau sekadar penat yang butuh tempat bersandar. Aku mendengar, bukan karena tak punya keluhanku sendiri, tetapi karena di sanalah makna dari berbagi kehidupan: menjadi telinga ketika yang lain perlu bicara.

Ketika mendengar, aku sering bertanya pada diriku sendiri, apa sebenarnya yang kita cari dari kata-kata yang meluncur? Apakah solusi? Ataukah sekadar pengakuan bahwa kita ada? Terkadang, aku tahu jawabannya adalah yang kedua. Manusia, dengan segala kerumitannya, sering kali hanya ingin memastikan bahwa keberadaannya terdeteksi oleh semesta. Dalam proses itu, aku menyadari bahwa mendengar bukan sekadar tugas telinga, melainkan tanggung jawab hati. Di sana aku belajar bahwa mengorbankan rasa lapar bukanlah kehilangan; ia menjadi penanda bahwa mendengar adalah bentuk kecil dari cinta yang tak bertepuk.

Namun, apa yang terjadi ketika mendengar menjadi peran yang tak berbalas? Sebuah relasi yang berat sebelah, di mana yang satu berbicara dan yang lain terdiam? Apakah diamku adalah wujud kekuatan, atau justru ketidakmampuan untuk menuntut hal yang sama? Kadang-kadang, aku merasa seperti daun kering yang menahan angin. Aku ada, tetapi tak terlihat. Aku memberi, tapi tak dihitung. Namun, di balik rasa itu, aku mulai menemukan jawaban: menjadi kuat bukan berarti selalu menunggu balasan, melainkan menerima bahwa kekuatan sejati adalah memberi tanpa menghitung.

Peristiwa sederhana ini mengajarkanku tentang nilai waktu dan kehadiran. Keluhan yang aku dengar pagi itu—meski membebani—adalah pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang memenuhi diri sendiri. Ada kebahagiaan yang muncul ketika kita menjadi ruang aman bagi seseorang, meski itu berarti menunda kepentingan pribadi. Dalam setiap kata yang kuperhatikan, aku seperti menanam benih keabadian kecil di hati orang lain. Barangkali mereka tak akan ingat, tetapi kehadiranku saat itu adalah saksi bisu dari perjuangan mereka.

Di penghujung hari, apa yang lebih penting: kenyamanan diri sendiri, atau menjadi lentera kecil dalam kegelapan orang lain? Jawabannya tak pernah sederhana. Tapi di saat aku memandang ke dalam diri, aku menemukan bahwa hidup tak melulu tentang lapar yang tak tertahankan atau keluhan yang tak usai. Hidup adalah tentang memahami bahwa di balik keluhan itu, ada jiwa lain yang menggemakan suara yang sama seperti kita: ingin didengar, ingin dianggap penting, ingin tahu bahwa ia tak sendirian. Dan di sana, aku memilih untuk tetap mendengar.

#latepost

Share: