Lelaki itu tidak cerita..
Lelaki itu tak pernah benar-benar bercerita. Apa yang keluar dari mulutnya hanyalah serpihan kata-kata yang tak pernah cukup untuk membangun jembatan ke hatinya. Diamnya seperti tembok besar yang menjulang, bukan untuk menolak dunia, tapi untuk melindungi sesuatu yang rapuh di dalam. Bukan dia tak ingin berbagi, bukan pula dia tak mampu. Hanya saja, lelaki itu tahu bahwa dunia sering kali terlalu bising untuk mengerti kedalaman diam.
Di dalam kepalanya, pikirannya berputar seperti roda gila. Tak ada henti, tak ada jeda. Saat tubuhnya tampak tenang, pikirannya seperti arus sungai deras yang menghantam bebatuan di dasar. Masalah-masalah yang datang, dia pecahkan sendiri—pelan-pelan, tanpa keluhan. Baginya, mengeluh adalah kemewahan, dan meminta bantuan adalah kelemahan. Dia lebih percaya pada kekuatan tangannya, pada tajamnya pikirannya, dan pada keteguhan hatinya. Lelaki itu tahu, hidup adalah medan pertempuran yang sunyi.
Kesendirian adalah teman sejatinya. Di sana, di ruang hening tanpa suara, lelaki itu menemukan dirinya. Bukan kesepian yang menghantuinya, tetapi justru kelegaan dari dunia luar yang sering kali terlalu ramai, terlalu banyak menuntut. Kesendirian memberinya ruang untuk berpikir, untuk menjadi sesuatu yang tak tergantung pada siapa pun. Hening itu bukan kutukan, tapi oase. Dalam kesendirian, dia belajar memahami bahwa dirinya cukup. Bahwa kekosongan tak selalu berarti kehilangan, tapi ruang untuk tumbuh.
Lelaki itu tahu diam adalah senjata. Dalam diam, dia menyusun strategi, merangkai langkah, dan menggambar peta hidupnya sendiri. Kata-kata yang tidak terucap bukanlah kebisuan, melainkan nyanyian di dalam kepala yang hanya dia yang bisa mendengar. Bagi lelaki itu, bicara sering kali terlalu terburu-buru. Kata-kata yang lahir dari lidah tak selalu mencerminkan kebenaran. Maka, dia memilih untuk berbicara hanya ketika perlu, dan berdiam ketika dunia terlalu gaduh.
Diamnya bukan tanda menyerah. Tidak, sama sekali tidak. Diamnya adalah jeda untuk berpikir lebih jernih, untuk menyusun kekuatan. Dia paham, kadang kalah dalam pertempuran kecil bukan berarti kalah dalam perang besar. Lelaki itu pantang menyerah bukan karena dia tak kenal lelah, tetapi karena dia tahu bahwa hidup ini bukan tentang kecepatan, melainkan ketahanan. Lelaki itu tidak terburu-buru. Dia berjalan dengan langkah yang mantap, satu demi satu, hingga akhirnya tiba di tujuan—meskipun tak ada yang melihat jalannya, tak ada yang mendengar deru napasnya.
Lelaki itu, dalam diamnya, adalah cerita yang tak pernah selesai.