Ima Kecil

Ima kecil masih berusia enam tahun, tepatnya akhir penguhujung bulan ini Ima berusia enam tahun. Aku tidak tahu di mana Ima tinggal, hanya kesehariannya kulihat Imah sering terlihat di trotoar lampu merah. Meski tampak lusuh dengan baju mirip baby doll buatan ibunya, wajah Imah tampak ceria. Sambil menenteng mangkok plastik kecil berwarna merah, dengan lincahnya Ima berlari-lari mendapatkan kendaraaan yang berhenti pada saat lampu merah menyala. Demi sekeping receh atau selembar uang recehan, Ima tidak tahu bahayanya menyelinap di antara kendaraan yang sedang berhenti. Dia tidak memikirkan soal bahaya itu (mungkin belum) atau memang tidak peduli ? Yang Imah pedulikan adalah, harapan agar jumlah receh yang dia dapat hari ini bisa lebih banyak dari kemarin. Malah Imah tidak tahu seluruh nilai rupiah, yang dia tahu hanya lima puluh rupiah lebih kecil dari lima ratus rupiah.

Dan ima tahu betul jika dia mendapatkan uang banyak, wajah ibu tidak akan semarah kemarin.Saat kutanyakan bekas luka yang sudah mengering di lengan kanannya, Ima tidak menjawab. Hanya menunduk dalam, sambil berusaha menutupi lengannya. Ima kecil memulai perkenalan ketika pada suatu hari motorku berhenti di suatu perempatan jalan menunggu lampu hijau menyala. Ketika itu matahari seolah memanggang kota Bandung. Gigi motor kumasukan pada posisi netral, aku tahu betul lampu merah di sini agak lama dibandingkan dengan yang lain. Pandanganku kuputarkan dari kiri kenan sampai ke belakang. Honda Jazz warna merah tepat di belakangku dihampiri oleh segerombolan anak-anak kecil dengan mangkok kecilnya. Si pengemudi tampak tidak peduli, malah dia mengeraskan suara music dari dalam mobilnya. Sebagian anak-anak itu beralih menuju kendaraan lainnya. Tinggal satu anak perempuan yang kukenal sampai saat ini. Ima namanya. Ima masih bersenandung lagu-lagu yang kurasa sudah keluar jalur dari lagu aselinya. Ima tidak peduli, hanya lagu itu yang dia tahu. Sadar karena ada yang memperhatikan kejadian itu sedari tadi, si sopir itu menjulurkan tangannya. Sedikit melemparkan koin recehan ke arah mangkok Ima. Wajah Ima tersenyum, dan berlalu menuju rombongannya pada kendaraan lain. Ketika Ima tersenyum, ada sedikit kelu di tenggorokan ini. Seolah amarah yang terbendung dan kemudian menghilang, meninggalkan bekas-bekas pahit bercampur sedih. Esoknya kembali aku berhenti di perempatan lampu merah yang sama, kali ini aku tidak ingat peristiwa kemarin. Posisiku agak masuk di antara dua kendaraan umum, tiba-tiba saja ada suara kecil tepat di arah kiri agak ke belakang.
" om kasihan om...."
" kata-kata itu !", pikirku dalam hati.
Kubuka penutup depan helmku, sambil merogoh lembaran uang seribuan kutanyakan namanya.
Dia bilang, " Ima..." sambil memutar badannya kembali ke atas trotoar. Memang tidak lazim menanyakan namanya pada situasi seperti itu, banyak pandangan menyimpan. Tapi aku tidak peduli, anak itu menarik perhatianku kali ini. Akhirnya sering kuperhatikan jika aku melewati jalan ini, tentu saja tidak lupa kuberikan selembar uang ribuan untuknya. Kadang beberapa temannya ikut menyodorkan mangkoknya. Rata-rata mereka berusia enam sampai 18 tahun, ada juga yang sudah berusia seperempat abad masih melakukan kegiatan seperti itu. Kali ini tidak ada kesimpulan mengenai peristiwa di perempatan itu. Pikiranku bergumul pada nama gadis cilik bernama Ima itu. Selintas teringat pada adik perempuanku pada saat dia berusia sama seperti Ima. Hanya saja dengan situasi dan keadaan berbeda. Adikku lebih beruntung terlahir pada saat keluargaku tidak bergitu kekurangan, meski dikatakan berkecukupan masih jauh.

Kembali pada perempatan jalan itu, kali ini hari mulai senja dan gelap. Angin berhembus berbekal titik-titik air hujan. Ketika jalanan mulai basah, dan terpaksa kubuka poncoku dari dalam tas. Meski saat itu lampu sudah berwarna hijau, kuberhentikan motorku agak ke pinggir jalan, dan kupasang sign lamp ke kiri. Kali ini tidak ada segerombolan anak-anak kecil, cuman ada beberapa pengamen yang berusia jauh daripada Ima. Berambut gondrong sambil menenteng gitar, dan temannya membawa biola tua yang sudah usang. Tidak kupikirkan lanjut, saat itu hujan sudah mulai deras. Beberapa hari kemudian, aku melewati perempatan jalan itu. Sengaja maksudku, masalahnya sebelum menuju arah perempatan jalan tersebut aku membeli beberapa nasi bungkus dan lauk pauknya di rumah makan padang favoritku. Engga ada maksud apa-apa sih, hanya sedikit berbagi rejeki dengan anak-anak seperti Ima.
"Ada acara ulang tahun yach bang ?" tanya pegawai rumah makan.
"Engga,... ini cuma mau makan bareng ama kawan-kawan di rumah," jawabku sekenanya.
"Memang istri engga masak ?" orang itu makin penasaran.
"Ini orang ingin tahu melulu, ujarku dalam hati, seperti detektif dalam novel saja."
Aku tersenyum sambil berlalu menuju motorku, dua buah kresek yang beratnya agak lumayan kuatur diatas motorku biar tidak berat sebelah. Di perempatan lampu merah aku berhenti agak naik trotoar mendekati kios rokok. Hanya ada beberapa pemuda pengamen dan penjual rokok yang sedang asyik mengobrol dengan seorang tukang koran. Perhatian mereka beralih kepadaku, dan sejenak obrolan mereka terhenti. Kusapa kedua orang itu sambil pura-pura aku membeli sebungkus rokok.
"mang, kok sepi yach ?" tanyaku.
"emang ginih tiap harinya juga jang..!" jawab si tukang kios, memangnyah ada apa kitu ?"
berbalik tanya begitu, aku hanya tersenyum," ah engga cuman biasanya kan suka banyak anak-anak kecil yang ngamen di sini ?"
Kini giliran tukang koran yang bertanya," Memangnya kenapa gitu ? "
Jelas nada bicaranya tidak begitu aku suka," ah engga ada apa-apa... cuman iseng aja nanya..."
Bapak penunggu kios terdiam seolah-olah menutupi sesuatu. Aku makin penasaran.
Kucoba mengajukan pertanyaan lagi. " Memangnya udah pada balik ke kampungnya yach mang ?"
Saat itu tidak ada yang berbicara lagi, aku langsung pamit. Kesalku pada tukang koran tadi yang tidak begitu bersahabat, sudah jelas aku bertanya baik-baik. Dari reaksi seperti itu sepertinya tukang koran itu tidak begitu suka kepadaku. Kupikir-pikir lagi, ah peduli apa ? memang siapa dia. Kupacu motorku pada 40KmH ke arah timur, di sana aku yakin masih ada anak-anak seumur Ima. Kalau memang ada kuberikan saja semua nasi bungkus dan lauk pauknya pada mereka. Mungkin ini bukan rejekinya Ima. Kulupakan kejadian di depan kios rokok tadi. Aku tidak begitu peduli dengan kejadian hari itu.

Hari-hari berikutnya, sosok Ima tidak kutemui lagi. Dan beberapa hari kemudian, masih juga tidak ada. Sampai aku coba, menelusui daerah sekitar perempatan jalan tersebut dan hasilnya tetap nihil. Kenapa sosok Ima kuingat terus ? Suatu malam tidurku terusik dengan mimpi tentang Ima, sesaat dia mengasongkan mankok merah kecilnya dan kuberikan seperti biasa selembar uang ribuan. Dia kemudian marah, mangkok itu dilemparkannya ke arah mukaku. Dalam mimpi itu Imah menjerit-jerit, kata-kata yang keluar dari mulut kecilnya seolah-olah tertuju padaku mengandung nada marah dan kekesalan. Ima menjerit-jerit semakin menjadi, dan kemudian wajah Ima berubah menjadi merah. Tapi, bukan ! itu bukan wajah Ima yang menjadi merah, melainkan cairan merah darah segar yang hampir munutupi wajah Ima. Setengah terloncat aku terbangun dari tidurku. Keringat membasahi dada, wajah dan punggungku. Seolah-olah telah terguyur hujan yang sangat deras.
Aku kemudian termenung, ada apa dengan Ima. Mimpi tadi membuat tanda tanya besar. Kenapa aku harus mengalami mimpi yang mengerikan seperti tadi ? tidak ada jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran ini. Sampai akhir bulan ini, aku belum menemukan Ima. Kemana dia ? ada apa dengan dia ? aku tidak tahu.. dan tentang mimpi malam itu, kenapa sosok Ima datang dengan penampilan yang mengerikan dan sepertinya sangat marah kepadaku ? apa salahku ? Ima akhir bulan ini genap enam tahun, seperti anak-anak lainnya yang tumbuh dan besar diantara lalu lalangnya kendaraan di perempatan jalan, Ima tidak bisa menikmati kehidupan seperti layaknya anak-anak seusia dia. Nasib Ima kurang beruntung.

Nasib Ima kurang beruntung, dan pertanyaan itu masih belum terjawab...

udung was sad, and his trying to forget "the thing"

Komentar